FOTO : Tokoh Agama Wilayah Adat Tabi, juga Ketua FKUB Kabupaten Jayapura Pdt. Alberth Yoku.
SENTANI, KLIKJO.ID– Tokoh Agama asal Wilayah Adat Tabi, yang juga ketua FKUB, Pdt. Alberth Yoku angkat bicara terkait pernyataan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Lenis Kogoya, yang akan membekukan Majelis Rakyat Papua (MRP) serta menggantikan tugas dan fungsinya oleh LMA.
Alberth Yoku yang juga Tokoh Adat Tabi ditemui wartawan di Kantor Bupati Jayapura, Gunung Merah, Sentani, Kabupaten Jayapura, kemarin, menilai pernyataan Lenis Kogoya tidak memiliki landasan atau dasar hukum.
Menurutnya, pernyataan Lenis Kogoya merupakan pernyataan pribadi dan bukan mewakili unsur masyarakat adat Papua secara keseluruhan.
“Saya menyampaikan untuk semua teman-teman, kaka dan ade dalam masyarakat atau orang asli Papua agar tidak mengeluarkan statement atau pernyataan yang tidak mendasar. Jadi, apa yang disampaikan saudara Lenis Kogoya, itu menurut dia lah. Apakah dia dalam kondisi atau emosi tertentu, ya silahkan saja. Tapi, kalau dari sisi perundang-undangan kan (statement) itu tidak benar,” ungkapnya.
Ketua Forum Masyarakat Adat Tabi Bangkit menambahkan, sesuai Undang-Undang Otsus, mengatur adanya Majelis Rakyat Papua atau MRP baik di Papua dan Papua Barat.
Jika dalam perjalanan ada oknum anggota MRP yang tidak bekerja sesuai Tupoksinya, itu tidak menggambarkan MRP secara kelembagaan, karena lembaga MRP sudah diatur Undang-Undang dan bukan oleh orang-perorang.
“Kekurangan apapun yang dilakukan oknum anggota (MRP) itu bukan kesalahan lembaga. Jadi, lembaga tidak pernah bersalah . Yang bersalah, yang melaksanakan tugas bekerja tidak mengikuti anjuran sesuai yang dipercayakan dalam lembaga. Jadi, lembaga MRP tetap saja sebagai MRP”, tuturnya, sambil mengajak semua pihak menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan tidak sesuai perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebelumnya, Ketua LMA Papua Lenis Kogoya mengeluarkan pernyataan untuk segera mengambil alih tugas Majelis Rakyat Papua (MRP), setelah lembaga kultur orang asli Papua itu dibekukan.
Pihaknya mengklaim keputusan ini berdasarkan hasil Musyawarah Adat yang dilanjutkan deklarasi Papua damai di Lapangan Pendidikan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada Rabu 1 Juni 2022 lalu, pernyataan tersebut mendapat penolakan, termasuk dari kalangan masyarakat adat itu sendiri.(Arifin)

Tinggalkan Balasan